CERITA RAKYAT
Untuk Pendidikan Dasar
BATU GOLOQ
Syaiful Bahri
KANTOR BAHASA NUSA TENGGARA BARAT
BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
Cerita Rakyat
Untuk Pendidikan Dasar
BATU GOLOQ
Diceritakan kembali oleh Syaiful Bahri
Penanggung Jawab
Dr. Syarifuddin, M.Hum.
(Kepala Kantor Bahasa NTB)
Diterbitkan oleh
Kantor Bahasa Nusa Tenggara Barat
Jalan Dokter Sujono, Kelurahan Jempong Baru,
Kecamatan Sekarbela, Kota Mataram, NTB
Telepon: (0370) 623544, Faksimili: (0370) 623539
iii
Batu Goloq
KATA PENGANTAR
Rasa syukur sudah sepantasnya kami panjatkan
kepada Tuhan atas terselesaikannya buku ini. Semua
tentu tidak akan terjadi tanpa kehendak-Nya.
Upaya menghadirkan kembali cerita rakyat
sebagai bahan bacaan sedang digalakkan pemerintah.
Bahan bacaan tersebut dihajatkan untuk dibaca oleh
siswa maupun masyarakat umum sebagai salah satu
upaya untuk meningkatkan budaya baca masyarakat.
Peningkatan budaya baca menggunakan bacaan
cerita rakyat sangat penting dilakukan mengingat
cerita rakyat sekarang ini cenderung ditinggalkan,
terutama anak-anak maupun generasi muda.
Selain meningkatkan budaya baca, penggunaan
cerita rakyat sebagai bahan bacaan juga bertujuan
iv
Kantor Bahasa NTB
memperkenalkan sekaligus menjaga kebertahanan
cerita rakyat tersebut.
Buku ini berisi salah satu cerita rakyat yang
berkembang di tengah-tengah masyarakat Sasak.
Cerita yang berjudul Batu Goloq ini berisi nilai-nilai
yang sangat relevan untuk dijadikan pelajaran bagi
pembaca. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika buku
cerita ini dijadikan sebagai bahan bacaan penting
dan perlu untuk dibaca.
Kami berharap buku ini menjadi salah satu
alternatif bacaan yang menarik dan bisa memberikan
pengetahuan baru bagi pembaca. Kritik dan saran
sangat kami butuhkan sebagai penyempurnaan pada
penyusunan berikutnya. Selamat membaca.
Penyusun
1
Batu Goloq
BATU GOLOQ
Siang itu matahari terasa menyengat. Ranting-
ranting pohon mulai lepas dari dahannya. Orang-
orang lebih memilih diam dalam rumah. Mereka takut
dengan hawa panas. Berteduh dalam rumah adalah
pilihan terbaik.
Pilihan tersebut tidak berlaku bagi pemilik
sebuah rumah. Rumah itu berlokasi agak jauh dari
rumah-rumah lainnya. Penghuninya adalah pasangan
suami istri beserta dua anaknya. Masyarakat sekitar
memanggilnya Amaq Lembain dan Inaq Lembain.
Masyarakat tidak mengetahui asal-usul nama itu.
Sesuai tradisi masyarakat sekitar, seharusnya
panggilan amaq diikuti dengan nama anak. Misalnya,
2
Kantor Bahasa NTB
jika nama anaknya Lume, orang tuanya akan dipanggil
Amaq Lume atau Inaq Lume.
Rumah yang ditinggali Inaq Lembain dan Amaq
Lembain bersama dua anaknya tergolong sempit.
Kondisinya pun cukup menyedihkan. Beberapa bagian
pagar terlihat berlubang. Jika musim hujan datang,
hampir semua bagian rumah itu bocor. Kondisi rumah
seperti itu tidak menjadi masalah bagi mereka. Itu
bukanlah permasalahan mendesak. Masalah yang
paling mendesak diselesaikan adalah pemenuhan
kebutuhan sehari-hari. Apa yang bisa dimakan hari
ini, itulah yang harus dijawab setiap harinya.
Kehidupan Inaq Lembain dan Amaq Lembain
memang tidak pernah jauh dari kekurangan. Mereka
berdua sama-sama berasal dari keluarga yang tidak
pernah lepas dari kekurangan. Sejak kecil Amaq
Lembain tinggal bersama orang tua yang memenuhi
3
Batu Goloq
kebutuhan hidup dengan menjadi buruh tani. Begitu
juga dengan Inaq Lembain. Bapaknya telah tiada
sejak Inaq Lembain masih dalam kandungan. Hal
itu menjadikan ibunya berjuang sendiri memenuhi
kebutuhan hidup dengan berbagai pekerjaan.
Jodoh mempertemukan mereka berdua. Mereka
pun tinggal di atas sebidang tanah sempit pemberian
seseorang. Di atas sebidang tanah itulah mereka
membangun gubuk yang tidak pernah diperbaiki
hingga anak mereka dua orang. Wajar kalau rumah
itu terlihat lusuh dimakan usia.
Amaq akan mencari kayu ke mana hari ini?”
Pertanyaan itu muncul dari Inaq Lembain yang
ditujukan kepada suaminya, Amaq Lembain. Pekerjaan
Amaq Lembain pada musim kering seperti ini adalah
mencari kayu di hutan. Kayu yang didapatkan dibawa
ke pasar untuk dijual. Hasil penjualan itulah yang
4
Kantor Bahasa NTB
digunakan untuk membeli beras dan kebutuhan
harian lainnya.
Rencananya saya mau ke hutan sebelah
timur, jawab Amaq Lembain sambil mempersiapkan
parangnya.
Memangnya kenapa dengan hutan sebelah
barat? tanya Inaq Lembain menegaskan. Hutan
sebelah barat itulah tempat biasanya orang mencari
kayu, termasuk Amaq Lembain. Di hutan itu tumbuh
pohon yang lebih besar dibandingkan hutan lainnya.
5
Batu Goloq
Dahan dan ranting yang banyak menjadikan orang
lebih senang mecari kayu di tempat itu dibandingkan
tempat lain. Inaq Lembain ingin mengetahui alasan
Amaq Lembain ke hutan sebelah timur.
“Menurut cerita orang-orang, banyak pohon-
pohon di hutan sebelah timur yang mengering.”
“Apakah ada yang pernah ke sana?”
Dua hari yang lalu Amaq Tandur dan beberapa
teman yang lain pernah ke sana Amaq Lembain
menjelaskan, Mereka mendapat banyak dahan dan
ranting kering.”
Amaq akan pergi bersama siapa ke hutan
sebelah timur?” Inaq Lembain kembali bertanya.
Amaq Tandur, Amaq Genuh, dan beberapa
orang lainnya.”
6
Kantor Bahasa NTB
Mudah-mudahan Amaq bisa mendapatkan
kayu yang lebih banyak. Inaq Lembain memberikan
semangat kepada Amaq Lembain. Itulah kebiasaan
setiap hari dalam keluarga itu. Kehidupan yang
serba kekurangan tidak menghalangi untuk saling
mendukung dan memberi semangat. Itulah yang
menjadi penguat mereka untuk terus semangat
menjalani hidup. Segala kesusahan yang dihadapi
terasa ringan karena dihadapi bersama.
Hari ini saya akan pergi ke kampung sebelah,
Inaq Lembain menginformasikan kepada suaminya.
Setiap hari memang ia berkeliling dari rumah ke
rumah. Ia menawarkan jasa untuk membantu orang
menumbuk padi. Setelah selesai biasanya ia diberikan
sedikit padi yang telah ditumbuknya sebagai upah.
Itulah yang dimasak untuk dimakan bersama
keluarga.
7
Batu Goloq
Apakah sudah ada yang akan ditumbukkan
padinya? Amaq Lembain bertanya kepada Inaq
Lembain.
Belum ada, mudah-mudahan hari ini ada yang
minta ditumbukkan padinya.”
Ya, mudah-mudahan. Bagaimana dengan
anak-anak?”
“Biar mereka ikut saya saja.”
Memang lebih baik begitu. Mereka tidak
mungkin akan ikut saya ke hutan, berbahaya.”
Untuk itulah, lebih baik mereka ikut saya. Kalau
mereka diam di rumah, tidak ada yang menemani.”
Suami istri itu akhirnya sepakat bahwa anak
mereka akan ikut sang ibu. Setelah semua peralatan
dipersiapkan, mereka keluar rumah menuju lokasi
masing-masing yang sudah direncanakan. Amaq
8
Kantor Bahasa NTB
Lembain berangkat menuju hutan sebelah timur. Di
tengah jalan ia bertemu dengan beberapa teman yang
memiliki tujuan yang sama. Untuk menghilangkan
lelah, mereka berjalan sambil berbicara kesana
kemari. Kadang-kadang diselingi dengan tawa
yang menandakan kelucuan. Canda dan tawa itulah
yang menjadikan jarak yang jauh menjadi terasa
dekat. Canda dan tawa juga menguatkan ikatan
persaudaraan di antara mereka. Amaq Lembain
menyadari tidak ada yang lebih baik daripada rasa
persaudaraan yang tumbuh di antara mereka.
#
Hamparan sawah yang mengering menyambut
kedatangan Inaq Lembain bersama anak-anaknya.
Datangnya musim kemarau telah menjadikan sebagian
besar sawah mengering. Pada musim seperti itu
hampir semua sawah tidak tertanami. Hanya beberapa
9
Batu Goloq
bagian yang masih terlihat sisa-sisa tanaman yang
belum dipanen. Sawah itu juga sebenarnya tinggal
menunggu waktu saja untuk mengering seperti sawah
lainnya.
Sawah-sawah mengering itulah yang dilalui Inaq
Lembain bersama anaknya. Melewati sawah itulah
jalan pintas terdekat menuju perkampungan yang
akan dituju. Musim kemarau memang menjadikannya
panas, tetapi lebih dekat. Jalan yang lain lebih
sejuk, tetapi agak jauh karena dibuat memutar. Inaq
Lembain lebih memilih jalan yang dekat meskipun
terasa panas.
Dua anak Inaq Lembain mengikuti langkah
ibunya. Karena merasa tidak tahan, anak yang paling
kecil minta digendong. Dengan penuh kasih sayang,
Inaq Lembain mengangkat dan menggendongnya di
10
Kantor Bahasa NTB
pinggang sebelah kanan. Anak paling besar tetap
berjalan kaki sambil memegang tangan kiri ibunya.
Masih jauh ya, Inaq? tanya anak yang paling
besar.
Sabar ya, Nak. Sebentar lagi kita sampai.
Inaq Lembain memberikan semangat kepada anak
tertuanya. Ia memang sudah terlihat letih. Apalagi
hawa panas ditambah kondisi jalan yang tidak rata.
Kamu lihat atap-atap rumah sebelah sana,
kata Inaq Lembain sambil menunjuk beberapa
atap rumah yang terlihat dari kejauhan. “Itulah
perkampungan yang menjadi tujuan kita, Nak.”
Inaq Lembain terus menghibur dan memberi
semangat kepada anaknya. Ia berharap anak
pertamanya itu tidak menyerah. Perkampungan
yang akan dituju memang sudah terlihat, tetapi
11
Batu Goloq
terasa sangat jauh karena lelah. Beberapa saat
ia menawarkan kepada anaknya untuk istirahat
sebentar. Di bawah pohon yang rindang Inaq Lembain
duduk bersama dua anaknya. Diberikannya air minum
yang dibawa untuk melapas dahaga. Sampai akhirnya
rasa lelah sudah mulai berkurang.
Apakah kita bisa melanjutkan perjalanan?
tanya Inaq Lembain kepada anaknya. Sang anak
mengangguk tanda setuju untuk berjalan kembali.
Mereka akhirnya berdiri untuk melanjutkan
perjalanan. Meskipun sudah tidak terlihat lelah,
Inaq Lembain tetap menggendong anaknya yang
paling kecil. Medan jalan yang bergelombang dan
banyak lubang menjadi pertimbangannya. Ia tidak
menginginkan sang anak yang masih kecil tergelincir
hingga akhirnya sakit.
12
Kantor Bahasa NTB
Setelah beberapa lamanya berjalan, Inaq
Lembain dan dua anaknya akhirnya memasuki
perkampungan. Suasana perkampungan yang
ditumbuhi berbagai pepohonan memunculkan rasa
sejuk. Jalan yang rata dan terawat mendorong anak
Inaq Lembain yang paling kecil untuk turun dari
gendongan. Ia berjalan di samping kakaknya dengan
riang.
Inaq Lembain mulai mendatangi rumah demi
rumah. Ia menawarkan jasa untuk bisa menumbuk
padi. Beberapa rumah yang berada di bagian depan
memasuki perkampungan sepi. Tidak ada suara
penghuni yang menjawab salamnya. Ia lalu berpindah
ke rumah lain. Begitulah, satu demi satu rumah
dikunjungi. Belum ada yang menerima tawarannya.
Sementara itu, kedua anaknya terus mengikuti
dari belakang. Mereka terus berjalan sambil bermain.
13
Batu Goloq
Tawa mereka terdengar renyah. Mereka tidak
terpengaruh dengan kekhawatiran ibunya yang belum
menemukan orang yang akan ditumbukkan padinya.
Nak, belum ada orang yang ingin ditumbukkan
padinya. Inaq Lembain menyampaikan kepada kedua
anaknya yang sedang bermain. Mendengar kalimat
ibunya, kedua anak itu berhenti. Mereka mendekati
ibunya yang duduk di sebuah potongan kayu di pinggir
jalan. Anak dan orang tua itu saling memandang satu
sama lain. Beberapa saat lamanya mereka terdiam.
Tidak ada yang bersuara. Semua sibuk dengan pikiran
masing-masing.
Mudah-mudahan di rumah berikutnya ada...
Secara tiba-tiba kalimat itu muncul dari mulut Inaq
Lembain. Kalimat itu seakan berusaha memberikan
semangat baru dalam diri mereka. Ia tidak bisa
membayangkan seandainya tidak ada orang yang
14
Kantor Bahasa NTB
membutuhkan jasanya. Jika demikan yang terjadi,
maka hari ini mereka tidak bisa makan. Harapan
memang bisa muncul dari hasil mencari kayu Amaq
Lembain. Namun, hal itu membutuhkan proses yang
panjang. Kayu yang didapatkan Amaq Lembain
harus dibawa ke pasar terlebih dahulu untuk dijual.
Jika hasil menjual kayu itu mencukupi, barulah bisa
digunakan untuk membeli beras.
Tidak ingin larut dalam pikiran yang cenderung
mematahkan semangat, Inaq Lembain berdiri. Dua
anaknya pun ikut serta. Dipandangnya beberapa
rumah yang belum dikunjunginya. Dengan pandangan
matanya, ia mengajak anaknya untuk mengunjungi
rumah itu satu per satu.
Permisi, apakah ada padi yang bisa kami
tumbuk? Itulah kalimat pertama Inaq Lembain yang
15
Batu Goloq
menawarkan jasanya ke pemilik rumah. Beberapa
saat kemudian pemilik rumah muncul.
Mohon maaf, tidak ada padi yang kami
tumbuk. Itulah kalimat balasan yang keluar dari
pemilik rumah. Inaq Lembain kemudian meminta diri.
Ia mencoba menawarkan jasanya ke rumah yang lain.
Jawaban yang sama juga terdengar dari pemilik rumah
berikutnya. Begitulah, beberapa pemilik rumah yang
dikunjunginya tidak membutuhkan jasanya untuk
menumbuk beras.
Inaq Lembain berdiri terdiam. Tinggal satu
rumah yang belum dikunjunginya. Rumah itu agak
terpisah dari rumah-rumah lainnya. Harapannya
hanya terletak pada rumah itu. Sejenak dipandangnya
kedua anaknya yang sudah terlihat letih. Rasa sedih
dan kasihan menyelinap dalam dadanya. Hari ini
16
Kantor Bahasa NTB
mereka belum makan. Sampai saat belum didaptakan
satu pun orang yang ingin ditumbukkan padinya.
Ia memandang ke langit. Matanya berkaca
menahan linangan air yang tertahan keluar. Inaq
Lembain kemudian memejamkan matanya. Dalam
hati ia berdoa. Ia berharap agar Yang Maha Kuasa
memberikan jalan. Paling tidak untuk makan mereka
hari ini. Dalam kondisi seperti itu Inaq Lembain merasa
begitu dekat dengan-Nya. Menyerahkan kehidupan
kepada-Nya menjadikan hatinya lebih tenang.
Beberapa saat kemudian, kekuatan dan
keyakinan tumbuh dalam diri Inaq Lembain. Ia
merasa yakin bahwa pemilik rumah yang satu itu
membutuhkan bantuannya. Tanpa ragu, kakinya
dilangkahkan menuju rumah itu. Belum sampai
diucapkannya salam, pemilik rumah sudah terlihat
muncul dibalik pintu.
17
Batu Goloq
Wah, ini dia. Saya sudah menunggu dari tadi,
sambut pemilik rumah melihat kedatangan Inaq
Lembain. Sebenarnya ada rasa heran menyelinap
dalam hatinya. Sejak tadi ia menawarkan jasanya
kepada banyak orang. Sekarang belum sampai
mengungkapkan keinginannya, pemilik rumah sudah
mengatakan menunggu. Semua seperti gayung
bersambut. Semuanya seolah sudah diatur.
Rasa heran itu mereda ketika ia mengingat
Sang Pencipta. Disadarinya bahwa Dialah yang
telah mengatur semuanya. Doanya beberapa menit
sebelumnya telah didengar. Dialah Maha Pengatur
yang mengkondisikan pemilik rumah membutukan
penumbuk padi. Dia pula yang menggerakkan hati
pemilik rumah untuk menunggu Inaq Lembain
sebagai penumbuk padi. Sinar harapan telah tumbuh
18
Kantor Bahasa NTB
dalam diri Inaq Lembain. Kebahagiaan tak terhingga
keluarganya hari ini bisa makan.
Apakah ada padi yang akan ditumbuh, Pak?
Ya. Beras simpanan keluarga kami sudah
habis. Tolong tumbukkan beberapa ikat padi yang
ada di lumbung itu.”
Mendengar kalimat itu, Inaq Lembain bergegas
menuju lumbung yang dimaksud. Lumbung itu terletak
di depan rumah pemiliknya. Lumbung adalah tempat
penyimpanan padi bagi masyarakat Sasak. Atap
yang dibuat dari ilalang menjadikannya hangat di
19
Batu Goloq
musim panas maupun dingin. Inaq Lembain menaiki
lumbung melalui tangga yang sudah disediakan. Di
dalam lumbung itu terlihat beberapa ikat padi. Inaq
Lembain mengambil beberapa ikat sesuai permintaan
pemiliknya. Padi yang sudah diambil kemudian dibawa
turun.
Di bawah lumbung terdapat berugaq. Berugaq
adalah tempat duduk yang biasa digunakan sebagai
tempat menerima tamu. Lumbung dan berugaq
menjadi satu kesatuan. Bagian atas sekaligus menjadi
atap berugaq adalah lumbung. Bagian bawah lumbung
merupakan berugaq yang dijadikan tempat duduk.
Inaq Lembain bergegas menuju tempat
menumbuk padi yang sudah disediakan pemiliknya.
Posisi tempat itu agak jauh dari rumah pemilik rumah.
Satu per satu ikatan padi yang sudah diturunkan
dibawa ke tempat tersebut. Setelah semuanya
20
Kantor Bahasa NTB
dibawa, ia kemudian mempersiapkan beberapa
peralatan untuk menumbuk padi. Alu dan gendeng
merupakan dua alat utama yang dipersiapkan. Kedua
benda itu terbuat dari kayu. Gendeng merupakan
kayu berukuran besar yang bagian tengahnya
dibentuk seperti ceruk agak dalam. Pada ceruk inilah
diletakkan beras yang akan ditumbuk.
Gendeng tidak bisa dipisahkan dengan alu.
Gendeng dan alu sering dikatakan sebagai satu
kesatuan. Alu adalah kayu berbentuk bulat yang
digunakan sebagai alat penumbuk. Dua alat inilah
yang dipersiapkan Inaq Lembain.
Selain kedua peralatan utama itu, Inaq
Lembain juga mempersiapkan alat lain sebagai
pendukung, seperti keleong dan keraro. Keleong
akan dipergunakan sebagai alat untuk membersihkan
beras dari sisa-sisa kulit setelah ditumbuk. Beras
21
Batu Goloq
yang sudah bersih itulah yang kemudian dimasukkan
ke dalam keraro.
Setelah semua siap, Inaq Lembain mendekati
kedua anaknya. Keduanya sedang duduk tidak jauh
dari ibunya.
Nak, tunggu ibu menumbuk padi ini sebentar
ya! ucap Inaq Lembain sambil mengusap kepala
kedua anaknya. Kedua anak itu mengangguk. Inaq
Lembain melihat tempat sekitar. Ia bermaksud
mencarikan tempat duduk yang tepat bagi anaknya.
Terlihat sebuah batu berada di tempat yang agak
jauh dari tempatnya akan menumbuk padi. Batu itu
terlihat begitu bagus. Ukurannya yang besar dan
pipih sangat cocok dijadikan tempat duduk. Warna
batu itu terlihat legam, tetapi bersih. Warna hitam
pada batu itu akibat terus terpapar matahari. Pada
saat itu posisi batu terlihat teduh karena dipayungi
22
Kantor Bahasa NTB
dahan dari sebuah pohon. Inaq Lembain mendapat
informasi bahwa batu yang bagus bentuknya itu
bernama Batu Goloq.
Di sebelah sana ada batu yang bagus untuk
duduk. Kalian tunggu di sana ya! Inaq Lembain
menyampaikan kepada anaknya sambil mengarahkan
telunjuknya ke Batu Goloq.
Jangan lama-lama ya, pinta anak yang paling
besar.
Ya, ibu sebentar saja. Kalau sudah selesai
nanti ibu masakkan nasi kemudian kita makan
bersama. Setelah selesai mengucapkan kalimat itu,
Inaq Lembain membawa anaknya ke Batu Goloq.
Ia semakin terkesima melihat batu itu dari dekat.
Bentuknya yang bagus juga membuat kedua anaknya
melongo. Inaq Lembain mendudukkan kedua anaknya
23
Batu Goloq
di atas Batu Goloq. Dibelainya kembali rambut masing-
masing anaknya. Setelah itu, Inaq Lembain bergegas
menuju tempat menumbuk padi. Ia membelakangi
anaknya yang sedang duduk berdua di atas batu.
Pertama-tama Inaq Lembain meletakkan satu
ikat padi ke dalam gendeng. Diambilnya alu kemudian
padi dalam gendeng itu ditumbuk. Pertemuan antara
alu, padi, dan gendeng menimbulkan bunyi. Bunyi itu
bagaikan irama yang enak didengar. Suara itu seperti
musik yang memberikan semangat Inaq Lembain
24
Kantor Bahasa NTB
untuk terus menumbuk. Kulit bulir-bulir padi pun
mulai terlepas. Butiran-butiran beras pun mulai
terlihat.
Bersamaan dengan irama tumbukan padi,
terjadi peristiwa yang mengherankan. Batu yang
ditempati dua anak Inaq Lembain semakin meninggi.
Kedua anak itu merasa heran. Mula-mula gerakan batu
itu terasa pelan. Mereka seakan tidak menyadarinya.
Namun, karena terus-menerus lama-kelamaan
gerakan batu yang semakin meninggi itu disadarinya.
Gerakan itu seolah mengikuti irama alu dan gendeng
yang dipegang ibunya.
Batu itu lama kelamaan semakin meninggi.
Kedua anak Inaq Lembain melihat tanah yang
semakin bawah dari tempat duduknya. Mereka
mengingat beberapa saat sebelumnya tanah itu bisa
dijangkau dengan menurunkan kaki. Kini kaki mereka
25
Batu Goloq
tidak cukup untuk menjangkau tanah. Kedua anak itu
pun menjadi sangat khawatir. Terlebih batu itu terus
meninggi mengikuti irama alu dan gendeng.
Inaq, apa yang terjadi dengan batu ini...
Suara anak sulung itu tidak didengar oleh Inaq
Lembain. Ia terus menumbuk padi. Irama tumbukan itu
seolah menambah tenaganya untuk terus menumbuk.
Tidak ada suara apapun yang didengarnya selain
irama tumbukan padi yang dilakukannya. Bersamaan
dengan itu, batu yang ditempati anaknya terus
meninggi.
Inaq, batu ini kenapa semakin meninggi...!!!
Kembali si sulung mengabarkan kepada ibunya. Tidak
ada tanggapan sedikit pun. Ibunya terus menumbuk
seperti terpacu oleh suara tumbukan. Melihat tidak
adanya tanggapan dari ibunya, kedua anak itu
26
Kantor Bahasa NTB
menangis. Rasa tidak dihiraukan seolah merasuk
dalam hati mereka.
Inaq...batu ini semakin meninggi....!!!!
Sekarang kedua anak itu yang berteriak. Di
antara bunyi tumbukan, Inaq Lembain sayup-sayup
mendengar teriakan anaknya. Meskipun demikian,
ia tak kuasa menghentikan kegiatannya. Padi
terus ditumbuknya. Tumbukan itu semakin cepat.
Bersamaan dengan itu, semakin cepat pula batu yang
ditempati anaknya meninggi.
Sabarlah anakku, sebentar lagi selesai. Hanya
itulah tanggapan Inaq Lembain mendengar sayup-
sayup teriakan kedua anaknya. Ia tidak menengok
sedikit pun. Kalimat itu disampaikan sambil terus
menunduk dan menumbuk.
27
Batu Goloq
Begitulah, kedua anak Inaq Lembain terus
berteriak. Batu yang ditempatinya semakin meninggi.
Jarak antara tempat duduknya dengan tanah menjadi
semakin jauh. Suara teriakannnya pun semakin lama
terdengar semakin jauh. Lama kelamaan menjadi
tidak terdengar.
Inaq Lembain terus menumbuk padi. Ia
tidak menyadari anaknya sudah berada di tempat
yang sangat tinggi. Teriakan yang kadang-kadang
didengarnya hanya dijawab dengan menyuruh
anaknya bersabar menunggu. Ia tidak menyadari
setiap tumbukannya seolah semakin menambah
ketinggian batu yang ditempati anaknya.
Seikat demi seikat padi yang ditumbuk Inaq
Lembain telah menjadi beras. Hingga akhirnya
beberapa ikat padi yang tadinya berupa padi telah
28
Kantor Bahasa NTB
menjadi butiran beras yang bersih. Dikumpulkannya
butiran-butiran beras itu menjadi satu.
Suara keduanya sudah tidak terdengar lagi. Ia
berpikir bahwa anaknya telah tertidur di atas batu.
Tanpa menengok ke tempat anaknya berada, Inaq
Lembain dengan gembira membawa beras ke tempat
pemiliknya. Ia mendapat upah beberapa bagian dari
beras yang hasil tumbukannya. Mengingat anaknya
belum makan, ia meminta izin untuk langsung
memasak bagiannya di tempat itu. Pemilik rumah pun
dengan senang hati mengizinkan.
Inaq Lembain menanak beras yang menjadi
bagiannya. Ia membayangkan anaknya akan sangat
bahagia mendapatkan makanan setelah bangun
dari tidur. Sambil senyum sendiri, Inaq Lembain
mendinginkan nasi yang sudah matang di atas sebuah
29
Batu Goloq
piring. Inaq Lembain kemudian bergegas menuju
kedua anaknya.
Setelah sampai di tempat anaknya, Inaq Lembain
sangat kaget. Batu Goloq tempat mendudukkan kedua
anaknya sudah tiada. Dikelilingi tempat itu untuk
memastikan keberadaan batu tersebut. Sempat ia
berpikir salah tempat mencari. Ia mencoba mencari
ke tempat lain, tetap tidak ada.
Inaq Lembain kembali ke tempat semula.
Ia merasa yakin di tempat itulah ia mendudukkan
anaknya. Kembali dicarinya batu itu. Dipanggilnya
kedua anaknya, tetapi tak jawaban. Inaq Lembain
pun terduduk dan bersandar di batu yang telah
meninggi.
Sambil terus memanggil, Inaq Lembain
mengingat-ingat teriakan anaknya yang tadi sayup-
30
Kantor Bahasa NTB
sayup didengarnya. Keheranannya muncul ketika ia
lupa dengan kalimat yang diteriakkan anaknya. Ia
berusaha keras untuk mengingat sambil terduduk.
Tidak sedikit pun kalimat-kalimat teriakan itu
diingatnya.
Inaq Lembain segera berdiri. Ia kembali ke posisi
yang menjadi tempatnya menumbuk padi. Diambilnya
posisi membelakangi tempat duduk anaknya
sebagaimana layaknya dilakukan sebelumnya. Pada
posisi itulah secara tiba-tiba diingatnya kalimat-
kalimat yang diucapkan anaknya.
31
Batu Goloq
“Inaq...batu...ini...meninggi” satu demi satu
kata itu diingat Inaq Lembain. Kata-kata yang secara
otomatis menjadi rangkaian kalimat. Inaq Lembain
merenung sejenak kemudian tersentak. Ia menengok
ke belakang. Dilihatnya ada batu yang sangat tinggi.
Ujung atas batu itu tidak terlihat karena tingginya.
Posisi batu itu persis pada posisi batu goloq tempat
mendudukkan anaknya.
“Berarti tadi anak saya memberi tahu...batu
yang ditempatinya meninggi,” Inaq Lembain berdialog
dengan dirinya sendiri. Ia seolah baru sadar dengan
kalimat-kalimat yang tadi diteriakkan anaknya. Ia
berdiri pelan kemudian berlari mendekati batu itu.
Anakku...apa yang terjadi dengan kalian....!!!
Inaq Lembain berteriak sambil memeluk batu. Ia
memanggil nama kedua anaknya, tetapi tidak ada
sahutan. Meskipun demikian, ia terus berteriak
32
Kantor Bahasa NTB
sampai suaranya serak. Inaq Lembain menangis
kemudian duduk bersimpuh di bawah Batu Goloq yang
sudah meninggi.
Maafkan Inaq, Anakku. Inaq tidak
mempedulikan teriakan kalian. Inaq Lembain terus
menangis sambil mengungkapkan rasa penyesalannya.
Ia berteriak minta tolong, tetapi tak ada orang yang
datang. Tempat itu seolah tertutup dari orang lain.
Sepi, senyap, tak ada orang lain. Hanya Inaq Lembain
sendiri yang hanya mendengar suaranya sendiri.
Sambil terus menangis terisak penuh sesal,
Inaq Lembain tanpa sadar berada dalam posisi
bersujud. Secara tiba-tiba tangannya memegang
pinggangnya. Dirasakannya ada sabuk kain terlilit di
pinggangnya. Sontak ia seolah mendapat petunjuk.
Tangannya seolah diperintah dan digerakkan oleh
33
Batu Goloq
sebuah kekuatan. Ia merasa yakin, sabuk itu bisa
digunakan untuk menurunkan kedua anaknya.
Inaq Lembain langsung berdiri. Dibukanya
sabuk yang terikat di pinggangnya. Ia menunduk
sejenak kemudian mundur beberapa langkah. Kaki
kirinya digerakkan ke belakang sehingga membentuk
posisi kuda-kuda. Ikat pinggang dipegang erat
dengan kedua tangannya. Ikat pinggang itu kemudian
dilecutkan ke arah Batu Goloq yang meninggi. Suara
menggelegar pun terdengar.
34
Kantor Bahasa NTB
Batu Goloq yang tinggi itu terbelah menjadi
tiga bagian. Masing-masing bagian melayang dan
terlempar dalam posisi yang berjauhan. Ajaib, batu
yang keras itu seolah lunak ketika menyentuh tanah.
Posisi jatuhnya masing-masing batu membentuk
dataran yang lebih tinggi dari sebelumnya.
Inaq Lembain merasa heran. Ia seolah tidak
percaya dengan yang dilihatnya. Konon ceritanya
potongan masing-masing batu itu pada perkembangan
selanjutnya membentuk wilayah perkampungan.
Tempat jatuhnya ketiga batu itu masing-masing
dinamai Desa Gembong, Dasan Batu, dan Montong
Teker. Dinamakan Desa Gembong karena besarnya
bunyi dan getaran yang ditimbulkan potongan batu
itu. Posisi jatuhnya potongan batu kedua dinamai
Dasan Batu disebabkan adanya orang lain yang
melihat posisi jatuhnya bagian batu itu. Penamaan
35
Batu Goloq
lokasi jatuhnya batu ketiga dengan nama Montong
Teker disebabkan suara jatuhnya terdengar seperti
bunyi petir. Teker dalam bahasa Sasak sama artinya
dengan petir dalam bahasa Indonesia.
Bersamaan dengan pecahnya batu, Inaq
Lembain bergegas mencari anaknya. Ia berteriak
memanggil anaknya, tetapi tak ada satu sosok pun
dilihatnya. Matanya terus melihat ke sana kemari
sambil memanggil. Anak yang dicarinya tak juga
ditemukan. Secara tiba-tiba terlihat dua burung
36
Kantor Bahasa NTB
yang terbang berputar dan mengepakkan sayap di
dekatnya. Dua burung itu berputar mengelilinginya.
Keduanya selalu berbunyi merdu setiap Inaq Lembain
memanggil nama anaknya.
Setelah berkali-kali mendengar kedua burung
itu berbunyi setiap memanggil nama anaknya, Inaq
Lembain sadar bahwa burung itu adalah penjelmaan
kedua anaknya. Inaq Lembain yakin bahwa anaknya
telah berubah menjadi burung, yakni burung Kuwo
dan Kelik. Ada rasa kecewa dalam diri Inaq Lembain
karena tidak menemukan sosok anaknya. Namun,
keyakinan bahwa kedua burung itu adalah penjelmaan
anaknya telah menumbuhkan ketenangan dalam
dirinya. Inaq Lembain kemudian merawat burung
itu layaknya merawat kedua anaknya. Kedua burung
itu disayang dan dimanjanya. Inaq Lembain tidak
bisa dilepaskan dari keduanya. Kemanapun Inaq
37
Batu Goloq
Lembain pergi, kedua burung itu selalu dibawanya.
Demikianlah, kehidupan Inaq Lembain dan Amaq
Lembain bersama kedua burung penjelmaan anaknya
berjalan dengan baik.
#